Selasa, 15 September 2009

Objek-objek Wisata di D.I.Y (Yogyakarta)

1. Kaliurang
Kaliurang yang secara harfiah dalam bahasa Indonesia berarti "Sungai Udang", adalah sebuah tempat wisata yang terletak di provinsi Yogyakarta. Persisnya Kaliurang terletak di Kabupaten Sleman, di perbatasan dengan provinsi Jawa Tengah. Akses menuju ke Kaliurang sangat mudah. Setidaknya dengan jalan kaki atau menumpang angkutan bus, kol (Colt), taxi, ojek melewati Jalan Kaliurang.
Kaliurang adalah sebuah resor atau tempat peristirahatan karena sejuknya udaranya. Maka di sini didapatkan banyak vila-vila penginapan, kebanyakan orang sektar menyebutnya wisma. Tempat yang paling banyak dikunjungi oleh wisatawan baik dalam maupun luar negeri adalah Tlaga Putri. Dikaliurang terdapat sebuah bangunan bersejarah yaitu Wisma Kaliurang , dimana terjadi Perundingan Khusus antara Republik Indonesia dengan Komisi Tiga Negara pada 13 Januari 1948. Perundingan Kaliurang ini melahirkan Notulen Kaliurang. Republik Indonesia di wakili oleh Presiden Soekarno , Wapres Moh Hatta , PM Syahrir dan Jendral Soedirman. Sedangkan Delegasi Belanda diwakili oleh Paul Van Zeelan (Belgia), Richard Kirby (Ausralia), dan Dr Frank Graham (USA). Di dalam perundingan, Frank Graham mengucapkan ungkapan populer, yaitu "You are what you are from bullets to the ballots.

2. KASONGAN
Kasongan adalah nama daerah tujuan wisata di wilayah kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta yang terkenal dengan hasil kerajinan gerabahnya. Tempat ini tepatnya terletak di daerah pedukuhan Kajen, desa Bangunjiwo, kecamatan Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, (~ S 7.846567° - E 110.344468°) sekitar 6 km dari Alun-alun Utara Yogyakarta ke arah Selatan.
Kasongan mulanya merupakan tanah pesawahan milik penduduk desa di selatan Yogyakarta. Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia, di daerah pesawahan milik salah satu warga tersebut ditemukan seekor kuda yang mati. Kuda tersebut diperkirakan milik Reserse Belanda. Karena saat itu Masa Penjajahan Belanda, maka warga yang memiliki tanah tersebut takut dan segera melepaskan hak tanahnya yang kemudian tidak diakuinya lagi. Ketakutan serupa juga terjadi pada penduduk lain yang memiliki sawah di sekitarnya yang akhirnya juga melepaskan hak tanahnya. Karena banyaknya tanah yang bebas, maka penduduk desa lain segera mengakui tanah tersebut. Penduduk yang tidak memiliki tanah tersebut kemudian beralih profesi menjadi seorang pengrajin keramik yang mulanya hanya mengempal-ngempal tanah yang tidak pecah bila disatukan. Sebenarnya tanah tersebut hanya digunakan untuk mainan anak-anak dan perabot dapur saja. Namun, karena ketekunan dan tradisi yang turun temurun, Kasongan akhirnya menjadi Desa Wisata yang cukup terkenal.
Sejak tahun 1971-1972, Desa Wisata Kasongan mengalami kemajuan cukup pesat. Sapto Hudoyo (seorang seniman besar Yogyakarta) membantu mengembangkan Desa Wisata Kasongan dengan membina masyarakatnya yang sebagian besar pengrajin untuk memberikan berbagai sentuhan seni dan komersil bagi desain kerajinan gerabah sehingga gerabah yang dihasilkan tidak menimbulkan kesan yang membosankan dan monoton, namun dapat memberikan nilai seni dan nilai ekonomi yang tinggi. Keramik Kasongan dikomersilkan dalam skala besar oleh Sahid Keramik sekitar tahun 1980an.
Hasil kerajinan dari gerabah yang diproduksi oleh Kasongan pada umumnya berupa guci dengan berbagai motif (burung merak, naga, bunga mawar dan banyak lainnya), pot berbagai ukuran (dari yang kecil hingga seukuran bahu orang dewasa), souvenir, pigura, hiasan dinding, perabotan seperti meja dan kursi, dll. Namun kemudian produknya berkembang bervariasi meliputi bunga tiruan dari daun pisang, perabotan dari bambu, topeng-topengan dan masih banyak yang lainnya. Hasil kerajinan tersebut berkualitas bagus dan telah diekspor ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika. Biasanya desa ini sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta.

3. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana salah satu kerajaan nusantara. Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kesultanan Yogyakarta (bersama-sama Kadipaten Paku Alaman) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti di tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta.

Tata Ruang dan Arsitektur
Arsitek istana ini adalah Sultan Hamengku Buwono I sendiri, yang merupakan pendiri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan berkebangsaan Belanda - Dr. Pigeund dan Dr. Adam yang menganggapnya sebagai "arsitek dari saudara Pakubuwono II Surakarta". Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta 1921-1939.
 Tata Ruang

Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara sampai di Plengkung Nirboyo di selatan. Bagian-bagian utama keraton Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang biasa disebut Plengkung Gadhing.
Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain.
Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra Mahkota (mula-mula Sawojajar kemudian di nDalem Mangkubumen). Di sekeliling Keraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang terdiri dari tembok/dinding Cepuri dan Baluwerti. Di luar dinding tersebut ada beberapa bangunan yang terkait dengan keraton antara lain Tugu Pal Putih, Gedhong Krapyak, nDalem Kepatihan (Istana Perdana Menteri), dan Pasar Beringharjo.
 Arsitektur Umum
Secara umum tiap kompleks utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang disebut Renteng atau Baturono. Pada regol tertentu penyekat ini terdapat ornamen yang khas.
Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk/berkonstruksi Joglo atau derivasi/turunan konstruksinya. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Untuk batu alas tiang, Ompak, berwarna hitam dipadu dengan ornamen berwarna emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan maupun dinding pemisah kompleks. Lantai biasanya terbuat dari batu pualam putih atau dari ubin bermotif. Lantai dibuat lebih tinggi dari halaman berpasir. Pada bangunan tertentu memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Pada bangunan tertentu dilengkapi dengan batu persegi yang disebut Selo Gilang tempat menempatkan singgasana Sultan.
Tiap-tiap bangunan memiliki kelas tergantung pada fungsinya termasuk kedekatannya dengan jabatan penggunanya. Kelas utama misalnya, bangunan yang dipergunakan oleh Sultan dalam kapasitas jabatannya, memiliki detail ornamen yang lebih rumit dan indah dibandingkan dengan kelas dibawahnya. Semakin rendah kelas bangunan maka ornamen semakin sederhana bahkan tidak memiliki ornamen sama sekali. Selain ornamen, kelas bangunan juga dapat dilihat dari bahan serta bentuk bagian atau keseluruhan dari bangunan itu sendiri.

Kompleks Depan
Gladhag-Pangurakan
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara adalah Gapura Gladhag dan Gapura Pangurakan[14] yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya. Kedua gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis. Pada zamannya konon Pangurakan merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi mereka yang mendapat hukuman pengasingan/pembuangan.
Versi lain mengatakan ada tiga gerbang yaitu Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan nJawi, dan Gapura Pangurakan Lebet. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora (Kantor Pos Besar Yogyakarta dan Bank BNI 46) namun sekarang ini sudah tidak ada. Di sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan nJawi yang sekarang masih berdiri dan menjadi gerbang pertama jika masuk Keraton dari utara. Di selatan Gapura Pangurakan nJawi terdapat Plataran/lapangan Pangurakan yang sekarang sudah menjadi bagian dari Jalan Trikora. Batas sebelah selatannya adalah Gapura Pangurakan Lebet yang juga masih berdiri. Selepas dari Gapura Pangurakan terdapat Kompleks Alun-alun Ler.

Alun-alun Ler

Tanah lapang, "Alun-alun Ler", di bagian utara kraton Yogyakarta dengan pohon Ringin Kurung-nya
Alun-alun Ler adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta. Dahulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding pagar yang cukup tinggi. Sekarang dinding ini tidak terlihat lagi kecuali di sisi timur bagian selatan. Saat ini alun-alun dipersempit dan hanya bagian tengahnya saja yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum.
Di pinggir Alun-alun ditanami deretan pohon Beringin (Ficus benjamina; famili Moraceae) dan ditengah-tengahnya terdapat sepasang pohon beringin yang diberi pagar yang disebut dengan Waringin Sengkeran/Ringin Kurung (beringin yang dipagari). Kedua pohon ini diberi nama Kyai Dewadaru dan Kyai Janadaru. Pada zamannya selain Sultan hanyalah Pepatih Dalem yang boleh melewati/berjalan di antara kedua pohon beringin yang dipagari ini. Tempat ini pula yang dijadikan arena rakyat duduk untuk melakukan "Tapa Pepe" saat Pisowanan Ageng sebagai bentuk keberatan atas kebijakan pemerintah. Pegawai /abdi-Dalem Kori akan menemui mereka untuk mendengarkan segala keluh kesah kemudian disampaikan kepada Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil.
Di sela-sela pohon beringin di pinggir sisi utara, timur, dan barat terdapat pendopo kecil yang disebut dengan Pekapalan, tempat transit dan menginap para Bupati dari daerah Mancanegara Kesultanan. Bangunan ini sekarang sudah banyak yang berubah fungsi dan sebagian sudah lenyap. Dahulu dibagian selatan terdapat bangunan yang sekarang menjadi kompleks yang terpisah, Pagelaran.
Pada zaman dahulu Alun-alun Ler digunakan sebagai tempat penyelenggaraan acara dan upacara kerajaan yang melibatkan rakyat banyak. Di antaranya adalah upacara garebeg serta sekaten, acara watangan serta rampogan macan, pisowanan ageng, dan sebagainya. Sekarang tempat ini sering digunakan untuk berbagai acara yang juga melibatkan masyarakat seperti konser-konser musik, kampanye, rapat akbar, tempat penyelenggaraan ibadah hari raya Islam sampai juga digunakan untuk sepak bola warga sekitar dan tempat parkir kendaraan.


Alun-alun Kidul

Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton Yogyakarta. Alun-alun Kidul sering pula disebut sebagai Pengkeran. Pengkeran berasal dari kata pengker (bentuk krama) dari mburi (belakang). Hal tersebut sesuai dengan keletakan alun-alun Kidul yang memang terletak di belakang keraton. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura, satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat ngGajahan sebuah kandang guna memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga (Mangifera indica; famili Anacardiaceae), pakel (Mangifera sp; famili Anacardiaceae), dan kuini (Mangifera odoranta; famili Anacardiaceae). Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-alun yang dinamakan Supit Urang (harfiah=capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri gapura sisi selatan yang dinamakan Wok(dari kata bewok, harfiaf=jenggot). Dari gapura sisi selatan terdapat jalan Gading yang menghubungkan dengan Plengkung Nirbaya.

Taman Sari

Kolam Pemandian Umbul Binangun, Taman Sari, Kraton Yogyakarta
Kompleks Taman Sari Keraton Yogyakarta merupakan peninggalan Sultan HB I. Taman Sari (Fragrant Garden)berarti taman yang indah, di mana zaman dahulu merupakan tempat rekreasi bagi sultan beserta kerabat istana. Di kompleks ini terdapat tempat yang masih dianggap sakral di lingkungan Taman Sari, yakni Pasareyan Ledoksari tempat peraduan dan tempat pribadi Sultan. Bangunan yang menarik adalah Sumur Gumuling yang berupa bangunan bertingkat dua dengan lantai bagian bawahnya terletak di bawah tanah. Di masa lampau, bangunan ini merupakan semacam surau tempat Sultan melakukan ibadah. Bagian ini dapat dicapai melalui lorong bawah tanah. Di bagian lain masih banyak lorong bawah tanah yang lain, yang merupakan jalan rahasia, dan dipersiapkan sebagai jalan penyelamat bila sewaktu-waktu kompleks ini mendapat serangan musuh. Sekarang kompleks Taman Sari hanya tersisa sedikit saja.
Warisan Budaya / Upacara Tradisional
Selain memiliki kemegahan bangunan Keraton Yogyakarta juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. Diantarannya adalah upacara-upacara adat, tari-tarian sakral, musik, dan pusaka (heirloom). Upacara adat yang terkenal adalah upacara Tumplak Wajik, Garebeg, upacara Sekaten dan upacara Siraman Pusaka dan Labuhan. Upacara yang berasal dari zaman kerajaan ini hingga sekarang terus dilaksanakan dan merupakan warisan budaya Indonesia yang harus dilindungi dari klaim pihak asing.

Tumplak Wajik
Upacara tumplak wajik adalah upacara pembuatan Wajik (makanan khas yang terbuat dari beras ketan dengan gula kelapa) untuk mengawali pembuatan pareden yang digunakan dalam upacara Garebeg. Upacara ini hanya dilakukan untuk membuat pareden estri pada Garebeg Mulud dan Garebeg Besar. Dalam upacara yang dihadiri oleh pembesar Keraton ini di lengkapi dengan sesajian. Selain itu upacara yang diselenggarakan dua hari sebelum garebeg juga diiringi dengan musik ansambel lesung-alu (alat penumbuk padi), kenthongan, dan alat musik kayu lainnya. Setelah upacara selesai dilanjutkan dengan pembuatan pareden.

Garebeg
Upacara Garebeg diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun kalender/penanggalan Jawa yaitu pada tanggal dua belas bulan Mulud (bulan ke-3), tanggal satu bulan Sawal (bulan ke-10) dan tanggal sepuluh bulan Besar (bulan ke-12). Pada hari-hari tersebut Sultan berkenan mengeluarkan sedekahnya kepada rakyat sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan atas kemakmuran kerajaan. Sedekah ini, yang disebut dengan Hajad Dalem, berupa pareden/gunungan yang terdiri dari Pareden Kakung, Pareden Estri, Pareden Pawohan, Pareden Gepak, dan Pareden Dharat, serta Pareden Kutug/Bromo yang hanya dikeluarkan 8 tahun sekali pada saat Garebeg Mulud tahun Dal.
Gunungan kakung berbentuk seperti kerucut terpancung dengan ujung sebelah atas agak membulat. Sebagian besar gunungan ini terdiri dari sayuran kacang panjang yang berwarna hijau yang dirangkaikan dengan cabai merah, telur itik, dan beberapa perlengkapan makanan kering lainnya. Gunungan estri berbentuk seperti keranjang bunga yang penuh dengan rangkaian bunga. Sebagian besar disusun dari makanan kering yang terbuat dari beras maupun beras ketan yang berbentuk lingkaran dan runcing. Kedua gunungan ini ditempatkan dalam sebuah kotak pengangkut yang disebut Jodhang.
Gunungan pawohan terdiri dari buah-buahan segar yang diletakkan dalam keranjang dari daun kelapa muda (Janur) yang berwarna kuning. Gunungan ini juga ditempatkan dalam jodhang dan ditutup dengan kain biru. Gunungan gepak berbentuk seperti gunungan estri hanya saja permukaan atasnya datar. Gunungan dharat juga berbentuk seperti gunungan estri namun memiliki permukaan atas yang lebih tumpul. Kedua gunungan terakhir tidak ditempatkan dalam jodhang melainkan hanya dialasi kayu yang berbentuk lingkaran. Gunungan kutug/bromo memiliki bentuk khas karena secara terus menerus mengeluarkan asap (kutug) yang berasal dari kemenyan yang dibakar. Gunungan yang satu ini tidak diperebutkan oleh masyarakat melainkan dibawa kembali ke dalam keraton untuk di bagikan kepada kerabat kerajaan.
Pada Garebeg Sawal Sultan menyedekahkan 1-2 buah pareden kakung. Jika dua buah maka yang sebuah diperebutkan di Mesjid Gedhe dan sebuah sisanya diberikan kepada kerabat Puro Paku Alaman. Pada garebeg Besar Sultan mengeluarkan pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Pada garebeg Mulud/Sekaten Sultan memberi sedekah pareden kakung, estri, pawohan, gepak, dan dharat yang masing-masing berjumlah satu buah. Bila garebeg Mulud diselenggarakan pada tahun Dal, maka ditambah dengan satu pareden kakung dan satu pareden kutug.

Sekaten
Sekaten merupakan sebuah upacara kerajaan yang dilaksanakan selama tujuh hari. Konon asal-usul upacara ini sejak kerajaan Demak. Upacara ini sebenarnya merupakan sebuah perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad. Menurut cerita rakyat kata Sekaten berasal dari istilah credo dalam agama Islam, Syahadatain. Sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat Gamelan Sekati, KK Guntur Madu dan KK Nagawilaga, dari keraton untuk ditempatkan di Pagongan Selatan dan Utara di depan Mesjid Gedhe. Selama tujuh hari, mulai hari ke-6 sampai ke-11 bulan Mulud, kedua perangkat gamelan tersebut dimainkan/dibunyikan (jw: ditabuh) secara bergantian menandai perayaan sekaten. Pada malam kedelapan Sultan atau wakil yang beliau tunjuk, melakukan upacara Udhik-Udhik, tradisi menyebar uang logam (koin). Setelah itu Sultan atau wakil beliau masuk ke Mesjid Gedhe untuk mendengarkan pengajian maulid nabi dan mendengarkan pembacaan riwayat hidup nabi. Akhirnya pada hari terakhir upacara ditutup dengan Garebeg Mulud. Selama sekaten Sego Gurih (sejenis nasi uduk) dan Endhog Abang (harfiah=telur merah) merupakan makanan khas yang banyak dijual. Selain itu terdapat pula sirih pinang dan bunga kantil (Michelia alba; famili Magnoliaceae). Saat ini selain upacara tradisi seperti itu juga diselenggarakan suatu pasar malam yang dimulai sebulan sebelum penyelenggaraan upacara sekaten yang sesungguhnya.

Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan
Dalam bulan pertama kalender Jawa, Suro, Keraton Yogyakarta memiliki upacara tradisi khas yaitu Upacara Siraman/Jamasan Pusaka dan Labuhan. Siraman/Jamasan Pusaka adalah upacara yang dilakukan dalam rangka membersihkan maupun merawat Pusaka Kerajaan (Royal Heirlooms) yang dimiliki. Upacara ini di selenggarakan di empat tempat. Lokasi pertama adalah di Kompleks Kedhaton (nDalem Ageng Prabayaksa dan bangsal Manis). Upacara di lokasi ini tertutup untuk umum dan hanya diikuti oleh keluarga kerajaan. Lokasi kedua dan ketiga berturut turut di kompleks Roto Wijayan dan Alun-alun. Di Roto Wijayan yang dibersihkan/dirawat adalah kereta-kereta kuda. Kangjeng Nyai Jimat, kereta resmi kerajaan pada zaman Sultan HB I-IV, selalu dibersihkan setiap tahun. Kereta kuda lainnya dibersihkan secara bergilir untuk mendampingi (dalam setahun hanya satu kereta yang mendapat jatah giliran). Di Alun-alun dilakukan pemangkasan dan perapian ranting dan daun Waringin Sengker yang berada ditengah-tengah lapangan. Lokasi terakhir adalah di pemakaman raja-raja di Imogiri. Di tempat ini dibersihkan dua bejana yaitu Kyai Danumaya dan Danumurti. Di lokasi kedua, ketiga, dan keempat masyarakat umum dapat menyaksikan prosesi upacaranya.
Labuhan adalah upacara sedekah yang dilakukan setidaknya di dua tempat yaitu Pantai Parang Kusumo dan Lereng Gunung Merapi. Di kedua tempat itu benda-benda milik Sultan seperti nyamping (kain batik), rasukan (pakaian) dan sebagainya di-larung (harfiah=dihanyutkan). Upacara Labuhan di lereng Gunung Merapi (Kabupaten Sleman) dipimpin oleh Juru Kunci Gunung Merapi (sekarang Januari 2008 dijabat oleh Mas Ngabehi Suraksa Harga atau yang lebih dikenal dengan Mbah Marijan) sedangkan di Pantai Parang Kusumo Kabupaten Bantul dipimpin oleh Juru Kunci Cepuri Parang Kusumo. Benda-benda tersebut kemudian diperebutkan oleh masyarakat.

Gamelan
Gamelan merupakan seperangkat ansambel tradisional Jawa. Orkestra ini memiliki tangga nada pentatonis dalam sistem skala slendro dan sistem skala pelog. Keraton Yogyakarta memiliki sekitar 18-19 set ansambel gamelan pusaka, 16 diantaranya digunakan sedangkan sisanya (KK Bremara dan KK Panji) dalam kondisi yang kurang baik. Setiap gamelan memiliki nama kehormatan sebagaimana sepantasnya pusaka yang sakral. Tiga buah gamelan dari berasal dari zaman sebelum Perjanjian Giyanti dan lima belas sisanya berasal dari zaman Kesultanan Yogyakarta. Tiga gamelan tersebut adalah gamelan monggang yang bernama KK Guntur Laut, gamelan kodhok ngorek yang bernama KK Maeso Ganggang, dan gamelan sekati yang bernama KK Guntur Madu. Ketiganya merupakan gamelan terkeramat dan hanya dimainkan/dibunyikan pada even-even tertentu saja.
Gamelan monggang KK Guntur Laut konon berasal dari zaman Majapahit. Gamelan yang dapat dikatakan paling sakral di Keraton ini merupakan sebuah ansambel sederhana yang terdiri dari tiga buah nada dalam sistem skala slendro. Pada zamannya gamelan ini hanya dimainkan dalam upacara kenegaraan yang sangat penting yaitu upacara pelantikan/pemahkotaan Sultan, mengiringi keberangkatan Sultan dari istana untuk menghadiri upacara penting, perayaan maleman (upacara pada malam tanggal 21,23,25, dan 29 bulan Ramadan), pernikahan kerajaan, upacara garebeg, dan upacara pemakaman Sultan. Gamelan ini memiliki nilai sejarah penting. Atas perkenan Sunan PB III, KK Guntur laut dimainkan saat penyambutan Sri Sultan Hamengkubuwono I pada penandatanganan Perjanjian Giyanti di tahun 1755.
KK Maeso Ganggang juga merupakan gamelan kuno yang konon juga berasal dari zaman Majapahit. Gamelan kodhok ngorek ini juga menggunakan sistem skala slendro. Gamelan ini didapatkan oleh Pangeran Mangkubumi dari Perjanjian Giyanti. Penggunaannya juga sangat sakral dan selalu dimainkan pada upacara kenegaraan seperti upacara pemahkotaan Sultan dan pernikahan kerajaan. Gamelan nomor dua di Keraton ini juga dimainkan dalam peringatan ulang tahun Sultan, upacara sunatan putra Sultan, dan untuk megiringi prosesi Gunungan ke Masjid Besar.
Gamelan sekati KK Guntur Madu dimainkan di Pagongan Kidul saat Upacara Sekaten, serta dalam upacara sunatan dan pernikahan Putra Mahkota. Konon gamelan ini berasal dari zaman Kesultanan Demak. Versi lain mengatakan alat musik ini buatan Sultan Agung saat memerintah kerajaan Mataram. Gamelan ini menjadi milik Kesultanan Yogyakarta setelah perjanjian Giyanti sementara pasangannya KK Guntur Sari menjadi milik Kesunanan Surakarta. Agar gamelan sekati ini tetap berjumlah sepasang maka dibuatlah duplikatnya (jw. dipun putrani) dan diberi nama KK Naga Wilaga yang dibunyikan di Pagongan Utara. Kekhususan gamelan ini adalah bentuknya yang lebih besar dari gamelan umumnya dan instrumen kendhang (gendang) yang mencerminkan Hinduisme digantikan oleh bedug kecil (dianggap mencerminkan Islam).
KK Guntur Sari dipergunakan untuk mengiringi Beksan Lawung, sebuah tarian sakral, pada upacara pernikahan putra Sultan. KK Surak diperdengarkan untuk mengiringi uyon-uyon (lagu-lagu tradisional Jawa), tari-tarian, dan wayang kulit. Gamelan-gamelan ada yang berpasangan secara khusus antara lain KK Harja Nagara (dalam skala slendro) dengan KK Harja Mulya (dalam skala pelog) dan KK Madu Murti (dalam skala slendro) dengan KK Madu Kusumo (dalam skala pelog).[83]

Kereta Kuda Pilihan
Pada zamannya kereta kuda merupakan alat transportasi penting bagi masyarakat tak terkecuali Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta memiliki bermacam kereta kuda mulai dari kereta untuk bersantai dalam acara non formal sampai kereta kebesaran yang digunakan secara resmi oleh raja. Kereta kebesaran tersebut sebanding dengan mobil berplat nopol Indonesia 1 atau Indonesia 2 (mobil resmi presiden dan wakil presiden Indonesia). Kebanyakan kereta kuda adalah buatan Eropa terutama Negeri Belanda walaupun ada beberapa yang dibuat di Roto Wijayan (misal KK Jetayu).
KNy Jimat merupakan kereta kebesaran Sultan HB I sampai dengan Sultan HB IV. Kereta kuda ini merupakan pemberian Gubernur Jenderal Jacob Mossel. KK Garudho Yakso merupakan kereta kebesaran Sultan HB VI sampai HB X (walaupun dalam kenyataannya Sultan HB IX dan HB X sudah menggunakan mobil). Kereta kuda buatan Den Haag tahun 1861 ini terakhir kali digunakan pada tahun 1989, saat prosesi Kirab Jumenengan Dalem (perarakan pemahkotaan raja). KK Wimono Putro adalah kereta yang digunakan oleh Pangeran Adipati Anom (Putra Mahkota). KK Jetayu merupakan kendaraan yang digunakan Sultan untuk menghadiri acara semi resmi. KK Roto Praloyo merupakan kereta jenazah yang hanya digunakan untuk membawa jenazah Sultan. Konon kereta ini baru digunakan dua kali yaitu pada saat pemakaman Sultan HB VIII dan HB IX.
K Harsunaba adalah kendaraan yang digunakan dalam resepsi pernikahan, sementara K Jongwiyat, K Manik Retno, K Jaladara dan K Mondro Juwolo kadang-kadang digunakan oleh Pangeran Diponegoro. Selain itu juga terdapat kereta, K Noto Puro, K Roto Biru, K Kutho Kaharjo, K Puspo Manik, Rejo Pawoko, Landower, Landower Surabaya, Landower Wisman, Kus Gading, Kus nomor 10, dan lain-lain. Masing-masing kereta tersebut memiliki kegunaan sendiri-sendiri.

4. Pantai Pandansimo
Pada zaman Raja Hamengkubuwono VIII pantai ini diresmikan dan dijadikan tempat tirakatan, sekaligus kampung nelayan. Disini ada pasar ikan, dan ada padepokan yang dibangun dengan model khas bangunan Jawa. Dari jauh, bangunan yang di tengahnya ada pohon pandan ini, nampak seperti simo, harimau. Tetapi setelah dekat, tempat ini terasa sejuk. Maka tempat ini disebut dengan nama Pandan Simo. Tak jauh dari sini ada Pandan Sari, yang juga ramai pada malam-malam tertentu, khususnya malam Jumat Kliwon. Juga ada Pandan Payung, sekitar satu kilometer arah ke barat. Disini agak sepi dan dikitari padang pasir yang cukup luas.
Pantai sepanjang Pandan Simo tidak cocok untuk berenang. Sangat dalam dan curam. Tetapi pemandangannya sangat bagus, terutama pada pagi hari sekitar jam 5.30 sampai jam 6.30. Tak jauh dari sini ada pelabuhan baru yang sedang dibangun, pelabuhan untuk para nelayan. Ikan-ikan yang dijual di sini cukup murah, sekitar Rp 20.000,00 per kg.

5. Pantai Parangtritis


Parangtritis, adalah sebuah tempat pariwisata berupa pantai pesisir Samudra Hindia yang terletak kurang lebih 25 kilometer sebelah selatan kota Yogyakarta.Parangtritis merupakan objek wisata yang cukup terkenal di yogyakarta selain objek pantai lainnya seperti Samas, Baron, Kukup Krakal dan Pantai Glagah. Parangtritis mempunyai keunikan pemandangan yang tidak terdapat pada objek wisata lainnya yaitu selain ombak yang besar juga adanya gunung - gunung pasir yang tinngi di sekitar pantai, gunung pasir tersebut biasa disebut gumuk. Objek wisata ini sudah dikelola oleh pihak pemda Bantul dengan cukup baik, mulai dari fasilitas penginapan maupun pasar yang menjajakan souvenir khas parangtritis. Selain itu ada pemandian yang disebut parang wedang konon air di pemandian dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit diantaranya penyakit kulit, air dari pemandian tersebut mengandung belerang yang berasal dari pengunungan di lokasi tersebut. lokasi lain adalah pantai parang kusumo dimana di pantai tersebut terdapat tempat konon untuk pertemuan antara raja jogjakarta dengan ratu laut selatan. Pada hari-hari tertentu (biasa bulan suro) di sini dilakukan persembahan sesajian (Labuhan) bagi Ratu Laut Selatan atau dalam bahasa Jawa disebut Nyai Rara Kidul. Penduduk setempat percaya bahwa seseorang dilarang menggunakan pakaian berwarna hijau muda jika berada di pantai ini. Pantai Parangtritis menjadi tempat kunjungan utama wisatawan terutama pada malam tahun baru Jawa (1 muharram/Suro). Di Parangtritis ada juga kereta kuda atau kuda yang dapat disewa untuk menyusuri pantai dari timur ke barat.

6. PANTAI SAMAS
PANTAI SAMAS adalah pantai yang terletak di Desa Srigading, Sanden, Bantul atau sekitar 24 km selatan Yogyakarta. Pantai Samas terkenal dengan ombaknya yang besar, delta-delta sungai dan danau air tawar yang membentuk telaga. Oleh Sub Dinas Perikanan Propinsi DIY, telaga-telaga tersebut digunakan untuk pengembangan perikanan, penyu dan udang galah serta untuk lokasi pemancingan. Di pantai ini, sering diadakan ritual keagamaan oleh masyarakat Yogyakarta seperti Upacara Kirab Tumuruning Maheso Suro dan Labuhan Sedekah Laut. Pantai Samas berbatasan dengan Pantai Patehan di barat dan Pantai Parangtritis di timur. Selain ombaknya yang besar, pantai Samas terkenal dengan angin lautnya yang kencang dan bibir pantai yang curam serta pantainya yang berpasir putih.
Hamparan pasir Pantai Samas sering digunakan sebagai lokasi bertelur sejumlah penyu langka seperti Penyu Hijau, Penyu Sisik, Penyu Blimbing, dan Penyu Lekang. Berburu telur-telur penyu di sepanjang hamparan pantai tersebut sering dilakukan oleh nelayan setempat untuk berbagai keperluan. Namun, atau prakarsa dan kesadaran sejumlah nelayan pantai Samas bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Yogyakarta serta sejumlah lembaga swadaya lingkungan maka dibentuk Forum Konservasi Penyu Bantul dengan anggota para nelayan yang dulunya berburu telur panyu.
Penyu-penyu sering mendarat di pantai Samas untuk bertelur. Forum ini menerapkan penetasan secara semi alami untuk telur-telur penyu yang akan menetas. Biasanya, oleh Forum Konservasi Penyu Bantul telur penyu yang telah diletakkan ke pasir oleh induknya akan dipindahkan ke sarang buatan[1]. Setelah menetas, anak penyu tersebut ditempatkan di kolam pemeliharaan yang dikelola Karena yang dilakukan adalah penetasan semi alami, maka pelepasan ke laut harus menunggu 3 bulan agar lebih kuat. Anak penyu yang ditempatkan di kolam pemeliharaan diberi pakan telur semut (kroto) atau ikan yang dicacah. Setelah tiga bulan, penyu biasanya dilepas ke laut oleh murid-murid sekolah sebagai bagian dari pendidikan lingkungan, khususnya konser

7. Museum Monumen Yogya Kembali


Museum Monumen Yogya Kembali, adalah sebuah museum sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang ada di kota Yogyakarta dan dikelola oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Museum yang berada di bagian utara kota ini banyak dikunjungi oleh para pelajar dalam acara darmawisata.
Museum Monumen dengan bentuk kerucut ini terdiri dari 3 lantai dan dilengkapi dengan ruang perpustakaan serta ruang serbaguna. Pada rana pintu masuk dituliskan sejumlah 422 nama pahlawan yang gugur di daerah Wehrkreise III (RIS) antara tanggal 19 Desember 1948 sampai dengan 29 Juni 1949. Dalam 4 ruang museum di lantai 1 terdapat benda-benda koleksi: realia, replika, foto, dokumen, heraldika, berbagai jenis senjata, bentuk evokatif dapur umum dalam suasana perang kemerdekaan 1945-1949. Tandu dan dokar (kereta kuda) yang pernah dipergunakan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman juga disimpan di sini (di ruang museum nomor 2).

Salah satu diorama (miniatur/replika) di dalam museum ini yang menggambarkan suasana Gedung Agung (istana Kepresidenan RI di Yogyakarta) pada saat itu (yang duduk dari kanan: M. Hatta, Soekarno, Jendral Soedirman, TB Simatupang, Soeharto).
Monumen Yogya Kembali dibangun pada tanggal 29 Juni 1985 dengan upacara tradisional penanaman kepala kerbau dan peletakan batu pertama oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Gagasan untuk mendirikan monumen ini dilontarkan oleh kolonel Soegiarto, selaku walikotamadya Yogyakarta pada tahun 1983. Nama Yogya Kembali dipilih dengan maksud sebagai tetenger (peringatan) dari peristiwa sejarah ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibukota RI Yogyakarta pada waktu itu, tanggal 29 Juni 1949. Hal ini merupakan tanda awal bebasnya bangsa Indonesia dari kekuasaan pemerintahan Belanda.

0 comments:

Posting Komentar

TopOfBlogs

Contact me

Contact me

Name

First

Last
Email
Phone Number

###
-
###
-
####
Website
Your coment
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
[Refresh Image] [What's This?]